Kujang adalah senjata tradisional unik dari Jawa barat khususnya Kerajaan Sunda Galuh Padjajaran yang mulai dibuat sekitar abad 8 atau 9 Masehi, yang pada awalnya merupakan alat pertanian.
Namun kemudian Kujang berkembang menjadi sebuah benda yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru tersebut yang kita kenal saat ini, diperkirakan lahir antara abad 9 – 12 Masehi.
Kujang merupakan Pusaka andalan Kerajaan Galuh Padjajaran, yang menjadi pegangan raja-raja besar Galuh Padjajaran, yang diantaranya adalah :
Prabu Lingga Buana, Prabu Niskala Wastu Kencana, Prabu Dewa Niskala, Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, Prabu Surawisesa Jaya Prakosa dan seluruh raja-raja asli Sunda. Kujang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan, sekaligus juga melambangkan kekuatan, keberanian untuk melindungi diri dan hal kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan maupun cindera mata.
Beberapa peneliti menyatakan istilah Kujang berasal dari kata KUDIHYANG (Kudi dan Hyang) Kudi berasal dari bahasa Sunda Kuno yang berarti kekuatan gaib/ Sakti. Sedangkan Hyang bermakna Dewa. Bagi masyarakat Sunda bahkan lebih tinggi, dimana Hyang bermakna diatas Dewa. Hal ini tercermin dalam ajaran “ Desa Prebakti ” dalam naskah “ Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian ” disebutkan “ Dewa Bakti di Hyang ”. Maka secara umum Kujang adalah Pusaka, yang mempunyai kekuatan gaib sakti yang berasal dari para Dewa (Hyang).
“…Koleksi Kujang Padjajaran Abah Wahyu Afandi Suryadinata…” Photo By : Red NRMnews.com
Karateristik sebuah Kujang memiliki nama-nama bagian seperti, Papatuk/Congo (ujung kujang yang menyerupai panah), Eluk/Silih (lekukan bagian punggung), Tadah (lekukan menonjol pada bagian perut) dan Mata (Lubang kecil yang ditutup emas dan perak).
Kujang cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam. Pada masa Kerajaan Galuh dan Padjajaran, orang yang ahli dalam membuat Kujang disebut Guru Teupa.
Dalam proses pembuatannya seorang Guru Teupa, harus mengikuti aturan-aturan tertentu agar Kujang dapat berbentuk sempurna. Seperti waktu untuk memulai membuat Kujang yang dikaitkan dengan kemunculan bintang di langit atau Bintang Kerti.
Selama proses pembuatan harus melakukan olah tapa (Puasa), agar terlepas dari hal-hal buruk. Seorang Guru Teupa Kujang Padjajaran di Bogor, Abah Wahyu Affandi Suradinata.BSc menyatakan pada redaksi NRMnews.com, bahwa Ia masih melakukan semua rangkaian dalam proses pembuatan Kujang tersebut.
Menurut keterangan Abah Wahyu Affandi Suradinata, pada masa Padjajaran, Kujang hanya boleh dimiliki oleh orang-orang tertentu berdasarkan status dalam masyarakat seperti Raja, Prabu Anom (Putra Mahkota), golongan Pangiwan, golongan Panengan, golongan Agama, para Putri serta kaum wanita tertentu dan para Kokolot.
“…Koleksi Kujang Padjajaran Abah Wahyu Afandi Suryadinata …” Photo By : Red NRMnews.com
Kujang bermata 9 hanya untuk pegangan para Raja. Mata 7 untuk para Mantri dangka/Prabu Anom dan para Pandita. Mata 5 untuk para Girang Seurat, Bupati Pamingkis dan Bupati Pakuan.
Mata 3 untuk para Guru Tangtu Agama dan Mata 1 untuk Pangwereg Agama. Pusaka Kujang terbagi empat (4) yaitu Kujang Pusaka (lambang keagungan dan perlindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (untuk alat upacara), dan Kujang Pamangkas (untuk alat berladang).
Sedang berdasar bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (bentuk ayam jago), Kujang Ciung (burung Ciung), Kujang Kuntul (burung Kuntul/bango), Kujang Badak (Badak), Kujang Naga (bentuk Naga) dan Kujang Bangkong (bentuk Katak).
Sehingga dalam menerima pesanan Kujang untuk pusaka, Abah Wahyu Affandi Suradinata, tidak sembarangan memberikan Kujang yang dipesan. Akan tetapi dilihat melalui nama dan hari lahir serta silsilah orang tersebut. Dan melalui olah Tapa Samadhi, untuk menentukan mana jenis Kujang yang cocok untuk orang tersebut. Kecuali bila Kujang dimaksudkan hanya untuk sekedar hadiah/cindera mata maupun Souvenir yang bersifat karya seni, maka tidak perlu melalui rangkaian tersebut.
Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah luhur terhadap Kujang sebagai ” Ku-Jang-Ji Rek nerusken padamelan sepuh karuhun urang (Janji untuk meneruskan perjuangan Sepuh karuhun urang/nenek moyang) “. Yaitu menegakkan cara ciri manusia yaitu welas asih (cinta kasih), Tata Krama (etika perilaku), Undak Usuk (etika berbahasa), Budi Daya Budi Basa, Wiwaha Yuda na Raga (Ngaji Badan), serta menegakkan cara ciri bangsa yaitu Rupa, Basa, Adat, Aksara dan Budaya.
“.. Prof. R. Roza Mintaredja, Saat Memperlihatkan Salah Satu Contoh Jenis Kujang Kiwari…” Photo By : Red NRMnews.com
Prof.R.Roza Mintaredja pimpinan Lembaga Adat Keraton Padjajaran di Bandung, yang ditemui redaksi NRMnews.com dalam suatu kesempatan, menyayangkan Kujang tidak sepopuler Keris.
Hal ini kemungkinan di karenakan kurangnya pemahaman masyarakat Sunda, terkait tentang Kujang itu sendiri, serta kurangnya peran serta masyarakat, dalam upaya turut mempopulerkan sekaligus mempromosikan Kujang tersebut.
Sebagai Lembaga Adat yang melembagai Hukum Adat Sunda dan Budaya Sunda, Lembaga Adat Keraton Padjajaran memperjuangkan agar Kujang dapat menjadi senjata yang masuk dalam kategori Pusaka, seperti Keris, sekaligus sebagai simbol masyarakat Sunda atau Jawa Barat, yang bukan hanya merupakan sebuah senjata biasa.
Dan sekarang ini beberapa golongan masyarakat mulai banyak yang menyukai Kujang. Baik sebagai koleksi pusaka maupun koleksi souvenir. Dan bukan hanya orang Sunda yang menjadi kolektor, bahkan juga ada yang datang dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan daerah lain. Namun memang belum semua lapisan masyarakat Sunda, kebanyakan mereka berasal dari kalangan Budayawan Sunda.
Namun kemudian Kujang berkembang menjadi sebuah benda yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru tersebut yang kita kenal saat ini, diperkirakan lahir antara abad 9 – 12 Masehi.
Kujang merupakan Pusaka andalan Kerajaan Galuh Padjajaran, yang menjadi pegangan raja-raja besar Galuh Padjajaran, yang diantaranya adalah :
Prabu Lingga Buana, Prabu Niskala Wastu Kencana, Prabu Dewa Niskala, Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, Prabu Surawisesa Jaya Prakosa dan seluruh raja-raja asli Sunda. Kujang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan, sekaligus juga melambangkan kekuatan, keberanian untuk melindungi diri dan hal kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan maupun cindera mata.
Beberapa peneliti menyatakan istilah Kujang berasal dari kata KUDIHYANG (Kudi dan Hyang) Kudi berasal dari bahasa Sunda Kuno yang berarti kekuatan gaib/ Sakti. Sedangkan Hyang bermakna Dewa. Bagi masyarakat Sunda bahkan lebih tinggi, dimana Hyang bermakna diatas Dewa. Hal ini tercermin dalam ajaran “ Desa Prebakti ” dalam naskah “ Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian ” disebutkan “ Dewa Bakti di Hyang ”. Maka secara umum Kujang adalah Pusaka, yang mempunyai kekuatan gaib sakti yang berasal dari para Dewa (Hyang).
“…Koleksi Kujang Padjajaran Abah Wahyu Afandi Suryadinata…” Photo By : Red NRMnews.com
Karateristik sebuah Kujang memiliki nama-nama bagian seperti, Papatuk/Congo (ujung kujang yang menyerupai panah), Eluk/Silih (lekukan bagian punggung), Tadah (lekukan menonjol pada bagian perut) dan Mata (Lubang kecil yang ditutup emas dan perak).
Kujang cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam. Pada masa Kerajaan Galuh dan Padjajaran, orang yang ahli dalam membuat Kujang disebut Guru Teupa.
Dalam proses pembuatannya seorang Guru Teupa, harus mengikuti aturan-aturan tertentu agar Kujang dapat berbentuk sempurna. Seperti waktu untuk memulai membuat Kujang yang dikaitkan dengan kemunculan bintang di langit atau Bintang Kerti.
Selama proses pembuatan harus melakukan olah tapa (Puasa), agar terlepas dari hal-hal buruk. Seorang Guru Teupa Kujang Padjajaran di Bogor, Abah Wahyu Affandi Suradinata.BSc menyatakan pada redaksi NRMnews.com, bahwa Ia masih melakukan semua rangkaian dalam proses pembuatan Kujang tersebut.
Menurut keterangan Abah Wahyu Affandi Suradinata, pada masa Padjajaran, Kujang hanya boleh dimiliki oleh orang-orang tertentu berdasarkan status dalam masyarakat seperti Raja, Prabu Anom (Putra Mahkota), golongan Pangiwan, golongan Panengan, golongan Agama, para Putri serta kaum wanita tertentu dan para Kokolot.
“…Koleksi Kujang Padjajaran Abah Wahyu Afandi Suryadinata …” Photo By : Red NRMnews.com
Kujang bermata 9 hanya untuk pegangan para Raja. Mata 7 untuk para Mantri dangka/Prabu Anom dan para Pandita. Mata 5 untuk para Girang Seurat, Bupati Pamingkis dan Bupati Pakuan.
Mata 3 untuk para Guru Tangtu Agama dan Mata 1 untuk Pangwereg Agama. Pusaka Kujang terbagi empat (4) yaitu Kujang Pusaka (lambang keagungan dan perlindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (untuk alat upacara), dan Kujang Pamangkas (untuk alat berladang).
Sedang berdasar bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (bentuk ayam jago), Kujang Ciung (burung Ciung), Kujang Kuntul (burung Kuntul/bango), Kujang Badak (Badak), Kujang Naga (bentuk Naga) dan Kujang Bangkong (bentuk Katak).
Sehingga dalam menerima pesanan Kujang untuk pusaka, Abah Wahyu Affandi Suradinata, tidak sembarangan memberikan Kujang yang dipesan. Akan tetapi dilihat melalui nama dan hari lahir serta silsilah orang tersebut. Dan melalui olah Tapa Samadhi, untuk menentukan mana jenis Kujang yang cocok untuk orang tersebut. Kecuali bila Kujang dimaksudkan hanya untuk sekedar hadiah/cindera mata maupun Souvenir yang bersifat karya seni, maka tidak perlu melalui rangkaian tersebut.
Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah luhur terhadap Kujang sebagai ” Ku-Jang-Ji Rek nerusken padamelan sepuh karuhun urang (Janji untuk meneruskan perjuangan Sepuh karuhun urang/nenek moyang) “. Yaitu menegakkan cara ciri manusia yaitu welas asih (cinta kasih), Tata Krama (etika perilaku), Undak Usuk (etika berbahasa), Budi Daya Budi Basa, Wiwaha Yuda na Raga (Ngaji Badan), serta menegakkan cara ciri bangsa yaitu Rupa, Basa, Adat, Aksara dan Budaya.
“.. Prof. R. Roza Mintaredja, Saat Memperlihatkan Salah Satu Contoh Jenis Kujang Kiwari…” Photo By : Red NRMnews.com
Prof.R.Roza Mintaredja pimpinan Lembaga Adat Keraton Padjajaran di Bandung, yang ditemui redaksi NRMnews.com dalam suatu kesempatan, menyayangkan Kujang tidak sepopuler Keris.
Hal ini kemungkinan di karenakan kurangnya pemahaman masyarakat Sunda, terkait tentang Kujang itu sendiri, serta kurangnya peran serta masyarakat, dalam upaya turut mempopulerkan sekaligus mempromosikan Kujang tersebut.
Sebagai Lembaga Adat yang melembagai Hukum Adat Sunda dan Budaya Sunda, Lembaga Adat Keraton Padjajaran memperjuangkan agar Kujang dapat menjadi senjata yang masuk dalam kategori Pusaka, seperti Keris, sekaligus sebagai simbol masyarakat Sunda atau Jawa Barat, yang bukan hanya merupakan sebuah senjata biasa.
Dan sekarang ini beberapa golongan masyarakat mulai banyak yang menyukai Kujang. Baik sebagai koleksi pusaka maupun koleksi souvenir. Dan bukan hanya orang Sunda yang menjadi kolektor, bahkan juga ada yang datang dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan daerah lain. Namun memang belum semua lapisan masyarakat Sunda, kebanyakan mereka berasal dari kalangan Budayawan Sunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar